07 Mei 2008

Kiprah SEPILIS Sepeninggal Cak Nur

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 14 Jan 2006 - 9:10 am


oleh Zainuddin Rahib
imageSepeninggal Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang disebut-sebut sebagi pelopor paham sekulerisme, pluralisme dan liberalisme di Indonesia, para pengikut dan pengusung paham SEPILIS (akronim sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) bukan makin surut tapi tampaknya makin subur. Sepertinya mereka memanfaatkan situasi meninggalnya Cak Nur sebagai momentum untuk lebih memberdayakan gerakan SEPILIS. Tak tanggung-tanggung mereka menyebut Cak Nur sebagai "Bapak Pluralisme dan Toleransi" serta bertekad akan melanjutkan perjuangannya.

Kalau Cak Nur masih malu-malu menyatakan dirinya sebagai penganut paham liberalis-pluralis, para juniornya sudah terang-terangan menyebut dirinya penganut paham SEPILIS, bahkan berani vulgar menghujat pihak yang mereka anggap tidak sejalan dengan paham mereka. (Ingat makian Ulil Abshar Abdalla terhadap fatwa MUI yang mengharamkan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme agama).

Belum lama ini, sebuah kantor berita radio di Jakarta yang biasa menjadi corong Jaringan Islam Liberal (JIL) menyiarkan semacam 'Manifesto JIL', yang intinya mengajak mendiskusikan "pelbagai kemungkinan lain bagi aneka masalah keagamaan yang oleh banyak orang dianggap telah baku, tuntas, karena tidak mungkin, selain tak ada manfaatnya dipersoalkan atau ditinjau ulang. Pada hemat kami, banyak di antara ihwal keagamaan tersebut terbuka untuk direnungkan dan didiskusikan kembali. Kami menganggap banyak di antara doktrin-doktrin keagamaan tersebut yang perlu dilihat secara jernih dan tajam. Digeledah fakta-fakta sejarahnya, dilacak asal-usul dan argumen-argumen pembentukan pembakuannya, dicermati maksud-maksud pokoknya yang dapat berbeda dari bunyi teksnya di permukaan. Ditimbang relevansi dengan situasi kekinian.

Ringkasnya, supaya agama sebagai sumber nilai berjalan seiring dengan kemanusiaan universal atau bahkan menjadi pedoman yang wajar dalam ilhami perilaku hidup manusia di banyak bidang, sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua itu berlaku untuk aspek-aspek sosial atau publik muamalah agama ini, bukan segi-segi peribadatan dan tatacaranya yang merupakan urusan pribadi masing-masing dan memang bukan pusat perhatian JIL.

Bahwa kemudian ide-ide JIL memunculkan kontroversi, itu kami pandang sebagai resiko inheren, meski kontroversi pastilah bukan tujuan kami. Sangat kami sayangkan bahwa kontroversi itu berkembang menjadi kekerasan dan fitnah. Kini JIL menjadi sasaran empuk bagi aneka fitnah. Segala ide yang dianggap nyleneh dinisbahkan kepada JIL, padahal mungkin JIL sendiri bukan hanya tak pernah berpendapat demikian tapi bahkan tidak setuju dengan ide-ide itu. JIL malah dijadikan nama generik untuk segala ide yang dipandang buruk tentang agama."

Indah nian gaya bahasa yang digunakan. Tapi keindahan bahasa saja tentu tidak menjamin kebenaran isinya. Sebab ide yang nyleneh dari salah seorang pentolan JIL, Luthfie Assyaukanie, dapat dilacak di website JIL yang melecehkan Al Quran dan para ulama yang merupakan pewaris Nabi.

"Sebagian besar kaum Muslimin meyakini bahwa al-Qufan dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma'nan). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal ad-din) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formulas! doktrin-doktrin Islam."

Jelas ini merupakan upaya dekonstruksi sumber utama ajaran Islam. Dekonstruksi semacam ini sudah tergolong suatu penghinaan, karena meragukan keabsahan Al Quran. Padahal Allah sendiri secara tegas menyatakan bahwa Al Quran tidak ada keraguan di dalamnya dan Allah pun menjamin keotentikannya hingga hari kiamat

Banyak lagi ide-ide nyleneh dari pentolan-pentolan pengusung JIL yang terang-terangan melecehkan Al Quran, melecehkan Nabi Muhammad, dan ujung-ujungnya menghina Islam. Ulil Abshar Abdalla, Siti Musdah Mulia, Zainun Kamal sama berpendapat bahwa perkawinan beda agama, terutama pernikahan seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah sah menurut hukum Islam, padahal jelas-jelas di dalam Al Quran Allah melarang jenis pernikahan itu.

Sukidi Mulyadi memproklamirkan 'pluralisme agama sudah merupakan hukum Tuhan yang harus diterima dan 'hukumTuhan itu tak mungkin berubah lagi' (Jawa Pos, 11/1/2004). Ulil menggugat keotentikan Al Quran dan menyerang substansinya ("Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dalam Kompas, 18/ 11/2002). Ia juga menyatakan 'semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran', sehingga Islam bukan agama yang paling benar (Gatra, 21/12/2002).

Sumanto al-Qurtuby menyatakan dalam bukunya, Lobang Hitam Agama, adalah keliru orang menganggap Al Quran itu suci, kesucian yang dilekatkan pada Al Quran adalah 'kesucian palsu'. Hakikat Al Quran, menurut Sumanto, bukanlah teks verbal yang memuat 6666 ayat bikinan Usman melainkan 'gumpalan-gumpalan gagasan'. Tak puas hanya melecehkan Al Quran, ia juga melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat, bahwa 'al-Qurxan hanyalah berisi semacam spirit ketuhanan yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi Muhammad saw', bahwa 'Nabi, para sahabat dan pengalaman komunitas Makkah dan Madinah (tajribatul Madinah wa Makkah) pada hakikatnya adalah co-author karena ikut menciptakan al-Qurxan'.

Umat Islam memang wajib mewaspadai sikap permissif yang kebablasan, mewaspadai jalan pikiran segelintir orang yang mengaku Muslim tapi menganggap akalnya berada di atas segala-galanya. Dengan cara akal-akalan mereka menggiring Islam sebagai sumber nilai agar berjalan seiring dengan kemanusiaan universal, bukan sebaliknya agar kemanusiaan berjalan seiring || dengan tuntunan nilai-nilai Islam yang universal. Jadi, dalam benak mereka, nilai-nilai Islam bukan menjadi pedoman bagi kemanusiaan universal, melainkan harus tunduk dan mengintil-ngintil di belakang kemanusiaan universal.

Menurut orang JIL, umat Islam tidak seharusnya hidup sebagai kelompok yang terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Sebagai contoh, mereka memandang Muslimah yang berbusana menutupi auratnya sebagai 'memisahkan diri' dari kelompok masyarakat lain, sementara para wanita yang berbusana buka-bukaan memamerkan bagian-bagian tubuhnya (dada, pusar, paha) tidak dinilai 'memisahkan diri' dari kelompok masyarakat lain, bahkan dianggap itulah masyarakat universal yang berlandaskan humanisme. Para pengusung Islam Liberal memang menganggap busana wanita yang menutupi aurat merupakan budaya Bangsa Arab, bukan wajib hukumnya bagi Muslimah. Luasan maknanya, umat Islam harus menanggalkan tuntunan Al Quran dan menggantinya dengan humanisme, agar dapat diterima menjadi anggota masyarakat universal.

Sangat disayangkan bahwa organisasi-organisasi besar Islam di negeri ini, seperti NU dan Muhammadiyah, tidak berani mengambil sikap yang tegas terhadap anggotanya hanyut dalam sikap permissif yang nyleneh. Ulil Abshar Abdalla adalah kader andalannya Gus Dur, Sukidi Mulyadi adalah aktivis muda Muhammadiyah.

Jelas ini suatu kelemahan dan bila kelemahan tersebut tidak segera dibenahi, tidak mustahil akan berlaku adagium yang berbunyi: Al-bathilu bi al-nizham sayaghlibu al-haqq bila nizham - Kebatilan yang terorganisasi dengan rapi dan dikelola dengan cekatan akan mengalahkan kebenaran yang dibiarkan amburadul (amanahonline)

Sumber: swaramuslim

Tidak ada komentar: