30-04-2008 / 09:01:09
Goresan “Misi di Sebuah Planet”
Tapi mengapa tidak semua orang bisa menulis, apalagi menulis dengan bagus dan cepat?
“Menulis itu mudah”, kata Diponegoro, penyair terkenal asal Jogja dalam salah satu bukunya. Tapi mengapa tidak semua orang bisa menulis, apalagi menulis dengan bagus dan cepat? Bagi kebanyakan orang, pekerjaan menulis masih dirasakan sulit, berat dan bahkan menakutkan.
Dalam sebuah buku berjudul “Misi di Sebuah Planet” karya Husein Matla, Pak Ismail, ketua SEM Institute, memberikan sedikit ulasan tentang menulis. Menurut beliau ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab keengganan atau kesulitan untuk menulis bagi seseorang, yaitu:
Pertama, faktor pendidikan dan pembiasaan. Menurut beliau, pengajaran kebahasaan kita selama ini kurang sekali melatih kebiasaan menulis, apalagi mencintai kegiatan tulis menulis. Menulis juga belum dijadikan sebagai salah satu aspek penting dalam kompetensi siswa. Bila penguasaan bahasa terlihat dari kemampuan membaca, berbicara dan menulis, pastilah kemampuan menulis yang paling tak terurus dalam pengajaran bahasa kita. Faktanya, anak-anak memang bisa membaca dan berbicara, tapi tidak untuk menulis. Dan ini ternyata terus berlanjut hingga pendidikan tinggi. Tak heran bila mahasiswa jengah luar biasa bila disuruh membuat makalah. Dan ketika tiba saatnya menyusun skripsi, karena tidak biasa menulis, tugas itu dikerjakan dengan sangat lambat. Biar cepat, tak sedikit dari mereka lantas menempuh jalan pintas: menyuruh orang lain untuk mengerjakannya. Jadi ia lebih baik mbayarin orang dari pada menulis sendiri.
Kedua, faktor pembiasan, keberanian dan percaya diri. bahwasanya menulis sesungguhnya sama saja dengan berjalan, naik sepeda, berenang atau nyetir mobil. Mengapa orang bisa berjalan? Tentu karena dilatih terus menerus. Coba kalau seorang anak tidak pernah dilatih, pasti dia tidak akan bisa berjalan. Begitu juga naik sepeda, berenang, nyetir mobil dan menulis. Semua berawal dari keberanian mencoba, ketekunan berlatih dan membiasakan diri. Bahwa saat berlatih jatuh terpeleset, luka atau bahkan nabrak, atau tulisannya tampak jelek, itu biasa. Namanya juga latihan. Bila karena takut salah orang tidak mau mencoba, maka semakin lama semakin sulit untuk memulai dan semakin lambat pula proses belajar terjadi. Begitu seterusnya hingga akhirnya ia benar-benar tidak bisa menulis.
Ketiga, faktor penghargaan. Faktor ini ternyata penting juga lho; kalo ada yang berfikir menulis perlu juga mendapat penghargaan, itu bukan berarti sang penulis berfikir matre (baca: materialis). Tapi sewajarnya orang berpikir reward. Berapa sih, duit yang didapat dari menulis? Sebagai gambaran, Pa Ismail menjelaskan, untuk buku setebal hampir dua ratus halaman yang ditulis selama hampir 1 tahun dan dicetak 6000 eksemplar, penulis bakal mendapat royalti sekitar 10 jutaan rupiah. Bandingkan dengan honor mengisi seminar yang bisa mencapai 3 juta rupiah sekali tampil atau menulis artikel pendek di koran yang bisa mendapat 500 ribu rupiah atau bahkan ngemci (maksudnya jadi MC) yang malah bisa mencapai 5 juta rupiah. Jelas dari sudut penghargaan material menulis buku menjadi sangat tidak menarik. Tapi bagaimana bila misalnya Anda bakal mendapat penghargaan emas seberat buku yang Anda tulis? Tentu akan sangat menarik. Cara ini pernah dipraktekkan di masa kejayaan Islam. Khalifah atau kepala negara pada masa itu guna mendorong penulisan buku. Anda bisa bayangkan berapa kilo emas didapat oleh penulis kitab semacam tafsir al-Thabari yang tebalnya 25 jilid atau Ihya Ulumiddin yang 7 jilild itu? Tak heran, bila masa itu ribuan kitab-kitab tebal terlahir dari tangan para ulama.
Keempat, faktor misi dan motivasi. Maksudnya, untuk maksud apa Anda menulis? Mau nyari duit, biar terkenal atau apa? Bila untuk nyari duit, menulis, setidaknya di Indonesia hingga saat ini, memang tidak menjanjikan. Bisa dikatakan tidak pernah ada penulis yang menjadi jutawan karena tulisannya -ngga tahu kalau kang Abik penulis AAC mah :p - . Bila mau terkenal, jadilah pelawak atau selebritis saja. Maka, di tengah iklim materialis seperti sekarang ini, tampaknya perlu misi dan motivasi khusus yang bersifat nonmaterial. Hanya dengan cara itu saja, kita bisa mendapat energi besar untuk menulis.
Jadi, Diponegoro tidak salah menuliskan kata-kata di atas. Menulis memang mudah. Tapi biar bisa benar-benar mudah, menulis perlu pembiasaan, keberanian berlatih dan percaya diri serta misi dan motivasi yang tinggi.
Pak Is (panggilan Pak Ismail) juga memberikan apresiasi terhadap Husein Matla yang telah sukses dalam menulis buku “Misi di Sebuah Planet” yang sedang saya baca ini, kata beliau:
Saudara Husein, penulis muda pemula yang juga aktifis dakwah, dengan motivasi tinggi telah memulai untuk berani menulis. Buku yang sedang Anda baca ini adalah buku pertamanya. Katanya, masih ada 10 judul buku lagi yang bakal terbit. Subhanallah.
Saya tahu, ia tidak mengharapkan dari bukunya ini bayaran tinggi atau mengharapkan keterkenalan. Apalagi mengharap mendapat emas lantakan dari penguasa negeri ini yang tidak jelas hendak ke mana membawa rakyatnya. Buku ini bisa terbit saja ia sudah senang.
Misi dan motivasi utamanya, katanya, seperti para ulama terdahulu, ingin menyampaikan pesan menyebarkan kesadaran Islam melalui tulisan. Menurut hadits Nabi, cara seperti ini memang akan menjadi amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir kepada penulis selama buku ini memberi manfaat kepada manusia.”
Selain membaca, menulis sesungguhnya merupakan tradisi Islam. Perintah membaca, baik membaca ayat-ayat tanziliah maupun kawniyah; yang tersirat maupun yang tersurat, merupakan ayat al-Quran yang pertama turun. Dari membaca didapat pengetahuan. Lalu, dengan semangat keilmuan guna meraih pahala jariyah pengetahuan itu ditulis, diajarkan dan disebarkan.
Pada masa kejayaan Islam, kota-kota seperti Baghdad, Mesir, Makkah, Madinah bahkan Sarajevo masyhur sebagai pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Ke sanalah orang-orang Eropa yang ketika itu masih diselimuti kegelapan selama berabad-abad (dark ages) datang untuk menimba ilmu. Mereka tidak mengalami kesulitan mengkaji ilmu karena semua tertulis dalam kitab-kitab yang mudah dibaca dan tersimpan rapi di perpustakaan-perpustakaan besar.
Tapi, peninggalan yang sangat berharga ini hancur lebur akibat ulah manusia-manusia bodoh tak berpengetahuan. Pada tahun 1258 sekitar 200.000 pasukan Tartar, Mongol yang dipimpin oleh panglima Hulagu Khan menyerang Baghdad dan selama 40 hari menghancur leburkan pusat daulah Abbasiyah itu. Tidak kurang dari 800.000 penduduk Baghdad tewas, darah mengalir di mana-mana, memenuhi lembah sungai Tigris. Ketika hendak menyeberang sungai Euphrat, tentara bodoh itu menggunakan timbunan buku yang diambil dari perpustakaan Baghdad. Puluhan ribu buku yang turut andil dalam renaissance dan enlightement (pencerahan) Eropa hancur karenanya. Selama 40 hari sungai Euphrat dikabarkan berubah hitam terkena lunturan tinta !
Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, kejayaan Islam akan mungkin kembali hanya bila para pemuda Islam mewarisi tradisi semangat belajar, semangat membaca dan menulis. Pemuda Husein yang menulis buku “Misi di Sebuah Planet” agaknya ingin melakukan itu, sambil berharap bukunya akan memperpanjang umurnya; tentu bukan umur fisikal melainkan umur intelektualnya karena buku memang akan memperpanjang umur intelektual penulisnya. Imam Syafi’I, imam Thabari, imam Ghazali dan ribuan bahkan jutaan ulama sudah lama meninggal, tapi buku buku seperti al-Umm, Ihya Ulumiddin, tafsir Thabari masih terus dikaji hingga sekarang, seolah para penulisnya itu masih hidup di tengah-tengah kita.
Anda tertarik ?
Sumber : http://percikaniman.org/detail_artikel.php?cPub=Hits&cID=319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar