07 Mei 2008

Ba’asyir, Burks, dan Bush

Katagori : Untold Story / the X files
Oleh : Redaksi 08 Feb 2005 - 6:25 am


imageimageOleh : Riza Sihbudi*
Dua bulan lalu barangkali tidak ada orang Indonesia yang mengenal nama Frederick Burks (kecuali mereka yang mengenalnya secara pribadi), walaupun ia pernah lama tinggal di Kalimantan dan menguasai dengan sangat fasih Bahasa Indonesia (selain Spanyol dan Mandarin). Dalam beberapa hari terakhir ini nama dan gambarnya terpampang di hampir semua media cetak terkemuka di Indonesia, seperti Republika, Koran Tempo, dan Kompas. Wajah pria jangkung kelahiran Amerika Serikat 46 tahun lalu itu pun sempat muncul di sejumlah stasiun televisi. Bahkan MetroTV dan SCTV secara khusus mewawancarai Burks pada Jumat, 14 Januari 2005 lalu.

Pada hari yang sama Burks juga tampil sebagai pembicara tunggal di forum diskusi yang diadakan Pusat Penelitian Politik LIPI dan the Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta, dengan tema “Mengungkap Kebohongan Bush.” Tidak disangka, acara yang diadakan secara mendadak dan bahkan penyebaran undangannya hanya lewat SMS (pesan pendek) ini pun ternyata menyedot banyak perhatian dari kalangan akademisi dan profesional, sehingga ruangan berkapasitas 50-an orang itu pun penuh sesak.

Kenapa nama Fred Burks mendadak “populer” di Indonesia?

kPertama, tentu karena kesaksiannya dalam sidang kasus “terorisme” dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (amir Majelis Mujahidin Indonesia) di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta, (13 Januari 2005). Dalam sidang itu, Burks antara lain mengatakan bahwa Pemerintah George W Bush pernah meminta agar Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) ditahan dan diserahkan ke AS. Permintaan AS itu, menurut Burks, disampaikan utusan khusus Bush kepada Presiden Republik Indonesia (saat itu) Megawati Soekarnoputri dalam pertemuan rahasia di Jalan Teuku Umar Jakarta (rumah pribadi Megawati), September 2002.

Pernyataan Burks di sidang ABB itu sebenarnya tidak ada yang baru.

Dalam berbagai kesempatan, dua atau tiga tahun lalu, saya sudah sering mengungkapkan adanya ntervensi pemerintahan AS dalam berbagai kasus “terorisme” di berbagai negara, termasuk Indonesia (lihat misalnya, opini Republika, 7 Oktober 2002, dan Koran Tempo, 25 Maret 2002). Hanya saja pernyataan itu menjadi istimewa lantaran keluar dari seorang Fred Burks yang sejak 1996 berprofesi sebagai penerjemah di Departemen Luar Negeri AS, dan sempat pula menjadi penerjemah Presiden AS, dari Bill Clinton sampai Bush. Artinya, pernyataan itu keluar dari seseorang yang memiliki otoritas yang tak perlu diragukan lagi.
Tentu bukan hanya itu. Burks yang sejak 2002 mengelola media alternatif dalam bentuk website bernama wanttoknow.info dan membangun jaringan internasional yang berupaya mengungkap kebohongan rezim Bush dalam kasus 11 September 2001, memiliki data-data yang sangat valid dan akurat. Data-data itu ia peroleh selama bertahun-tahun bekerja di Deplu AS serta interaksinya dengan puluhan elite politik, ekonomi, intelijen, maupun militer di negaranya. Dengan kredibilitasnya itu, apa yang dikatakan Fred Burks jelas bukan sekadar ”teori konspirasi” seperti yang selama ini dituduhkan sementara kalangan terhadap orang-orang seperti saya yang tidak pernah percaya pada ”versi resmi” kasus-kasus terorisme, khususnya 2001-2004.

Kasus Ustadz ABB, misalnya, sudah terang benderang mengandung banyak kejanggalan. Begitu pula kasus-kasus Bom Kuningan 2004, JW Marriot 2003, Bali 2002, dan—tentu saja-- 11 September 2001. “Versi resmi” yang, kendati tak didukung data-data yang valid dan akurat, berhasil “menyihir” opini dunia-ironisnya tak hanya kalangan awam melainkan juga kalangan akademisi dan intelektual—bahwa para pelaku aksi-aksi teror
(2001-2004) itu adalah Jamaah Islamiyah (JI) dan Alqaidah. Jika dibaca secara luas, pelaku aksi-aksi teror besar 2001-2004 adalah umat Islam, sebab kedua ”organisasi” itu dipimpin oleh tokoh-tokoh muslim, yaitu Abu Bakar Ba’asyir dan Usamah bin Ladin.

JI, Alqaidah dan Usamah masih banyak diselimuti misteri (menurut Burks, bukan tak mungkin mereka bikinan CIA). Tapi, tidak demikian halnya dengan Ustadz ABB. ABB adalah seorang ustadz yang jelas latar belakangnya, lantaran mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk kepentingan dakwah Islam. ABB memang pernah terusir karena melawan rezim Soeharto, namun ABB jelas bukan satu-satunya penentang penguasa Orde Baru itu. Benar bahwa ABB secara konsisten memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di Indonesia yang—seperti dikatakan Ketua Muhammadiyah Syafii Maarif—mungkin saja kurang sejalan dengan “mainstream” umat Islam di republik ini. Tapi, menyejajarkan ABB dengan Usamah (juga Hambali dan Umar Faruq, “dua tokoh JI” versi AS), jelas sangat tidak masuk di akal sehat.

Seorang teroris tentu tidak akan pernah tampil di depan publik, melainkan akan terus berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya seperti yang kini dilakukan Dr Azahari dan Noordin M Top, atau Imam Samudera, Amrozi, dan kawan-kawannya dulu. Ini jelas berbeda dengan ABB yang selalu tampil di depan publik, kecuali pada masa Orde Baru, lantaran terus diancam aparat Soeharto, sehingga ABB terpaksa
”bersembunyi” di Malaysia. Namun, selama di Malaysia pun keberadaan ABB bukan sama sekali tak bisa dipantau. Dengan kata lain, jika ia seorang ”teroris”, ABB tentu tidak akan menjalani kehidupan sehari-harinya seperti selama ini (sebelum dijebloskan ke penjara atas dakwaan pelanggaran imigrasi).

Tapi, kenapa rezim Bush terus menekan Jakarta agar tidak membebaskan ABB (kesaksian Syafii Maarif) dan bahkan pada 2002 meminta Megawati agar menyerahkan ABB ke AS (kesaksian Fred Burks)? Jawabannya tentu tidak terlalu sulit. Jika pengadilan Indonesia tak mampu membuktikan keterlibatan ABB dalam kasus “terorisme Islam” maka seluruh skenario rezim Bush tentang JI di kawasan Asia Tenggara menjadi buyar, dan itu artinya mereka pun gagal menjadikan “terorisme Islam” sebagai momok baru yang menakutkan bagi bangsa-bangsa Asia Tenggara. Oleh sebab itu, rezim Bush berkepentingan agar Ustadz ABB terus mendekam di penjara, bahkan jika mungkin diekstradisi ke AS.

Maaf, jika saya terpaksa menggunakan istilah ”rezim Bush,” karena seperti dikatakan Fred Burks, Bush dan konco-konconya pada hakikatnya mengembangkan sistem politik dan pemerintahan yang otoritarian dan diktatorial ala Soeharto dulu. Sebuah karikatur yang dimuat majalah Kanada, Global Outlook (edisi Fall 2004/Winter 2005, hlm 65) misalnya, menggambarkan Bush yang sedang memeluk bola dunia sebagai seorang “The Great Dictator.” Bahkan, seperti dikatakan Fred Burks dalam diskusi di LIPI dan ISMES, 14 Januari lalu, rezim Bush tak segan-segan untuk menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan ribuan warga sipil demi mencapai tujuan dan ambisi politik dan ekonomi mereka.

Jadi, jika terorisme dipahami sebagai sebuah aksi bermotif politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil, maka orang pun tahu siapa yang paling layak disebut sebagai teroris nomor satu dunia. Presiden Goerge W Bush tidak hanya bisa dianggap bertanggung jawab atas pembantaian sekitar 24 ribu warga sipil di Afghanistan (2001-2004) dan sekitar 37 ribu warga sipil di Irak (2003-2004), melainkan juga tiga ribuan warga sipil AS sendiri pada 11 September 2001 dan dua ratusan warga sipil Australia di Bali pada Oktober 2002.

Memang, bukti-bukti keterlibatan langsung rezim Bush dalam kasus Bali (juga JW Marriot dan Kuningan) belum banyak diungkapkan. Namun, dalam kasus 11 September 2001, sudah puluhan buku dan ratusan artikel di media cetak dan internet baik yang ditulis oleh orang-orang Eropa maupun AS sendiri yang terang-terangan menuding keterlibatan langsung rezim Bush dalam tragedi WTC itu. Lihat, misalnya, buku-buku The New Pearl Harbor (karya David Ray Griffin), 9-11 (Noam Chomsky), The Big Lie (Thierry Meyssan), The High Priests of War (Michael Collins Piper), Stranger Than Fiction (Albert D Pastore), The Lies of George W Bush (David Corn), The Terror Time Line (Paul Thompson), dan 911 Synthetic Terror Made in USA (Webster G Tarpley).

Menurut Fred Burks, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menebak siapa pelaku dari setiap aksi terorisme berskala besar, khususnya sepanjang periode 2001-2004 yaitu, dengan melihat siapa pihak yang paling diuntungkan dari setiap kejadian itu. Umat Islam merupakan pihak yang paling dirugikan dari aksi-aksi terorisme 2001-2004. Oleh sebab itu, sangat tidak masuk akal menuding umat atau negara-negara Islam sebagai pelaku atau pendukung aksi-aksi terorisme. Burks dan hampir seluruh penulis Barat lainnya yang menolak “versi resmi” rezim Bush dalam kasus WTC, umumnya sepakat menuding kaum neokonservatif (neocon) yang bekerja sama dengan jaringan mafia Zionis (bukan Yahudi, karena banyak umat Yahudi yang menentang Zionisme) sebagai pihak yang paling diuntungkan dari aksi-aksi terorisme 2001-2004.

Sejak kemenangan Bush tahun 2000, kaum neocon dan Zionis sepenuhnya mengendalikan politik dan pemerintahan AS, dengan tokoh-tokohnya seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Richard Perle, Douglas Feith, dan Condi Rice. Lebih dari itu, mereka pun kini mengendalikan sektor ekonomi dan media massa di AS. Semua media besar di AS ada di bawah kendali mereka. Tak ada satu pun media besar di AS yang berani menolak “versi resmi” rezim Bush dalam kasus WTC. Akibatnya, kalangan intelektual dan aktivis AS yang tak sepaham dengan rezim Bush terpaksa membuat media alternatif seperti yang dilakukan Burks dan kawan-kawannya. “Situasinya mirip Indonesia era Soeharto,” kata Burks.

Kehadiran Fred Burks di Jakarta, tentu diharapkan tidak hanya akan meringankan Ustadz ABB, melainkan juga diharapkan dapat membuka mata kita semua khususnya yang menyangkut kebohongan-kebohongan rezim Bush dalam isu terorisme global. Burks benar, bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan demokrasi yang hakiki tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Burks mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan keagamaan yang dianut Ustadz ABB. Tapi, setidaknya dalam satu hal mereka sepakat, yaitu melawan kediktatoran dunia di bawah cengkeraman rezim Bush. Burks lebih ”beruntung” lantaran tidak direnggut kemerdekaannya seperti Ustadz ABB, namun ada baiknya jika Fred Burks juga selalu mengingat ucapan Rosiana Silalahi (Liputan 6 SCTV, 14 Januari 2005), ”Hati-hati, banyak orang yang mengkhawatirkan keselamatan Anda”. Wallahualam bissawab. (RioL)

*Ahli peneliti utama LIPI


Sumber: swaramuslim.com

Tidak ada komentar: